Manusia Pasca Qurban

qurban

Qurban berawal dari sebuah kisah Ibrahim a.s sang kekasih Allah bersama anaknya Ismail a.s sebuah kisah melegenda dan Allah memerintahkan kita untuk selalu mengingatnya. Pasti ada suatu hikmah yang sangat besar di dalamnya. Kisah inipun menjadi syariat puncak sebuah ritual ibadah haji, sebuah rukun Islam yang harus melewat 4 rukun lainnya. Karena posisinya sebagai rukun sebaiknya dilaksanakan secara berurut dan tertib. Ibadah haji adalah ibadah seorang yang menghayati betul makna Laaillahaillallah, dan Muhammadarasullah. Seseorang yang jiwa dan fisiknya menjadi satu ketika sholat, seseorang yang benar-benar dapat mengendalikan diri, keluaran dari puasa Ramadhan yang agung. Seorang jamaah haji adalah seseorang yang sudah purna materi. Baginya membayar zakat adalah bentuk pengakuan tidak ada yang dimilikinya, semuanya milik Allah dan harus diperlakukan sesuai kehendak Allah. Haji bukan sebuah short cut untuk menebus dosa – dosa. Tidak menjadi sebuah prestise kehidupan. Karena manusia haji adalah manusia pasca materi. Telah selesai jiwa itu berkelana. Jasad yang masih di dunia tak lalai memberi arti ibadah pada tiap detik geraknya. Memberikan manfaat dan keselamatan bagi setiap orang yang berinteraksi dengannya. Selayak seorang sufi yang berkata. “Mutiara adalah proses panjang sebuah perjalanan Hujan yang turun dari langit, membasahi gunung memberi kehidupan, melewati sawah menyuburkan, melintasi pemukiman menghidupinya, terus mengalir sampai membawa kekeruhan dan berbagai zat dan partikel, bermuara di laut lepas. Kau tak akan menemukan mutiara asli dalam laut dangkal. Berada jauh di kedalaman setelah memenuhi cangkang kerang dan mengekstrak, itulah mutiara. Itulah seorang haji yang menjadi tamu Allah. Diperkenankannya seorang Haji memenuhi undangan sang Tuhan. Tidak semua orang datang sebagai undangan, tidak semua undangan menemui sang Tuan rumah. Tidak semua yang menemui Tuan rumah di jamu. Tidak semua yang di jamu berterimakasih. Menjadi seorang manusia pasca qurban, adalah menjadi manusia yang khusuk berperan sebagai Ibrahim, Hajar, dan Ismail. Dalam sebuah diorama hidup yang penuh makna kita diajak menyelami makna haji.

Ibrahim a.s adalah sosok yang sejak muda tampil utuh menjadi dirinya. Tak seperti ikan mati yang mengikuti arus sungai. Ibrahim muda tak puas akan tipuan yang berkembang dalam masyarakat. Bahwa berhala itulah yang menjadi Tuhan, memberi kehidupan, mengatur, dan menjaga, memberi peringatan. Mungkin dia sosok yang tidak begitu saja termakan berita di media, tidak membabi buta memberikan afiliasinya. Ibrahim merenung membersihkan logika dan hati sebelum menilai. Dia sempat terlintas menilai bintang sebagai tuhan, berdialektika hingga beralih ke bulan, dan hampir mengambil kesimpulan matahari yang lebih besar sebagai tuhan. Namun Dialektika Material Histori yang dilakukan Ibrahim tak memberikan jawaban. Tuhan tak dalam wujud materi seperti mahluk. Jauh sebelum Ferderich Hegel. Ibrahim lebih dalam berdialektika. Melewati Karl Marx Ibrahim memberikan penyelesaian yang lebih utuh. Itulah sosok pemuda yang nantinya menjadi Kekasih Allah. Sepertinya kita perlu mengkaji lagi lebih dalam kisah Ibrahim, Sarah, Hajar, dan Ismail. Dari sana kita dapat utuh memaknai Iedul Qurban. Ismail bukan nabi dadakan, Ibrahim bukan nabi kaget. Menjadi sosok yang penuh keyakinan menjalankan perintah Allah. Mungkin pembaca bisa membuka kembali dengan penuh perenungan tentang cerita para nabi. Cerita para nabi adalah cerita manusia-manusia pasca qurban.

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar